Social Icons

Tuesday, December 9, 2014

Desa Batik di Perbukitan Yang Bernama Limbasari

Biasanya, sentra-sentra batik di Jawa berada di sekitar pusat pemerintahan atau pusat ekonomi. Namun tidak demikian halnya Desa Limbasari, Kecamatan Bobotsari, Purbalingga, Jawa Tengah.
Kampung itu cukup jauh dari pusat Kota Purbalingga karena berjarak sekitar 15 km. Dari pusat Kota Kecamatan Bobotsari, letak Desa Limbasari haruslah melewati jalan masuk yang jaraknya sekitar 5 km. Jalannya naik turun, karena Limbasari berada di lereng timur Gunung Slamet.

Memasuki desa setempat, terlihat sejumlah warga duduk dengan kursi pendek yang terbuat dari kayu. Di depannya ada lain yang diletakkan pada sebuah tiang bambu. Para perempuan itu memegang canting yang setiap kali dicelupkan ke dalam wajan kecil berisi malam. Di bawah wajan kecil ada kayu dengan nyala api. Lalu tangan-tangan mereka melukiskan malam ke kain mori yang masih berwarna putih itu.

Pemandangan seperti itu umumnya berada di samping rumah. Mereka bergerombol tiga sampai lima orang. Di desa setempat, dari sekitar 698 keluarga, 500 di antaranya bisa membatik. Boleh dikatakan, batik tidak dapat dilepaskan dari keluarga di Limbasari.

“Beginilah kami kerja setiap harinya. Sudah puluhan tahun kami menjalani. Mulai dari membuat pola sampai membatik,”ujar Enmiyarti, Ketua Paguyuban Pembatik Putri Ayu, Desa Limbasari.

Kadang-kadang ia memang ikut membatik, apalagi kalau itu merupakan ide darinya. Sejak awal membuat pola sampai membatik, dia mengerjakan sendiri. “Namun, saya juga dibantu oleh tiga orang perempuan yang sejak lulus SMP sudah membatik. Sampai sekarang, mereka tetap setia dengan batik tulis. Karena di sini sebagian besar memang mengembangkan batik tulis,”kata Enmiyarti.

Ketekunan membatik tulis itu juga terlihat dari tiga orang pembatik yang tengah bekerja di samping rumahnya. Mereka adalah Marliah, 45, Sarohmi, 47, dan Kasipah, 47. Tangan-tangan mereka terlihat terampil menggoreskan malam di kain mori yang disampirkan pada tiang bambu di depannya. Sesekali mereka terlihat meniup canting karena supaya malam tidak mengeras.

“Biasanya, kami bekerja sejak pagi sekitar jam 08.00 WIB pagi sampai sore jam 15.00 WIB. Pekerjaan ini tidak harus sesuai dengan jam kerja, karena kalau ada kepentingan lain dapat ditinggalkan sementara. Sebab, bayarannya kan satu potong kain. Upahnya berkisar antara Rp35 ribu hingga Rp50 ribu setiap potongnya,”kata Sarohmi.

Enmiyarti menambahkan bahwa budaya batik di desanya sudah ratusan tahun silam, namun dia tidak dapat memastikan mulai tahun berapa. “Yang jelas, ketika saya masih kecil, banyak nenek-nenek yang masih membatik. Padahal, wakti itu saya belum bersekolah, sudah banyak yang membatik. Dulunya, mereka menyetorkan hasil batikan kepada juragan di Bobotsari. Yang pasti, sejak dulu sampai sekarang, di Desa Limbasari sebagian besar adalah batik tulis. Kalau memang ada batik cap, biasanya bukan pekerjaan orang Limbasari. Umumnya, batik yang telah dicap dibawa ke sini untuk ditambahi dengan batik tulis,”katanya.

Bahkan, di sini tidak ada proses pewarnaan, karena warga Limbasari hanya benar-benar khusus membatik tulis. Pewarnaan biasanya akan dikerjakan di Sokaraja, Banyumas. Setelah selesai, nantinya diambil lagi ke Limbasari untuk dijual. “Harga batik di sini berkisar antara Rp150 ribu hingga Rp300 ribu. Karena batik di sini tulis, maka kadang-kadang kami kewalahan menerima pesanan. Sebab, dalam satu bulan, misalnya, saya bersama tiga pembatik hanya mampu menghasilkan 20 potong kain batik,”katanya.

Meski demikian, hal itu tidak membuat mereka patah semangat, karena ada pendapatan yang diperolehnya untuk tambahan belanja keluarga.Kalau sekarang pemasaran sudah sangat terbuka lebar, apalagi pegawai negeri sipil (PNS) di Purbalingga sudah diwajibkan memakai batik sejak Kamis sampai Sabtu.

Yang justru jadi kendala, kata Enmiyarti, adalah sulitnya mencari tenaga kerja. “Bukan persoalan mereka tidak dapat membatik. Bukan itu. Karena sejak kecil, warga di sini sedikit banyak telah dilatih oleh orang tuanya membatik, sebab mereka punya peralatan di rumahnya masing-masing. Justru yang jadi kendala adalah alternatif pekerjaan lain. Misalnya menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri atau bekerja menjadi buruh pabrik rambut,”ujarnya.

Saat sekarang, banyak pabrik rambut yang mencari buruh di desa-desa untuk mengerjakan pembuatan bulu mata palsu. “Banyak dari warga yang lebih memilih itu, meski kadang-kadang tetap menerima pesanan batik. Selain itu, banyak dari generasi muda perempuan setelah selesai sekolah lebih memilih bekerja di luar negeri. Memang barangkali dari segi pendapatan, membatik kalah dengan pekerjaan menjadi TKW. Namun, kalau ditekuni terus, membatik juga menjanjikan pendapatan lumayan, apalagi kalau kualitas pembatikannya bagus,”ujarnya.

Kepala Desa Limbasari Agus M Tirtamenggala mengatakan boleh dikatakan kalau 70 persen lebih keluarga di desa setempat bisa membatik. Mereka juga memiliki peralatan seperti canting, wajan kecil dan tempat menyampirkan kain dari bambu. “Itu sudah terjadi ratusan tahun silam. Mudah-mudahan ini masih tetap bisa dipertahankan, meski saingannya adalah menjadi buruh bulu mata palsu atau berangkat ke luar negeri,”tambah Agus.

Menurutnya, Desa Limbasari memang cukup unik, karena desa yang jauh dari kota justru berkembang tradisi membatik. “Dari cerita para tetua di Limbasari, kemungkinan besar berkembangnya batik justru mulai terjadi ketika Belanda masih menjajah Indonesia. Para kesatria Kerajaan Mataram banyak yang melarikan diri, salah satunya ke Limbasari. Limbasari memang dipandang sebagai daerah terpencil, karena waktu itu harus menyeberang Sungai Klawing dengan jalan setapak yang menanjak. Itulah mengapa batik Limbasari bisa berkembang sampai sekarang ini. Meski memang, tidak ada catatan sejarah yang pasti soal asal usul batik di Limbasari,”ujarnya.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Miliki Segera

 photo BP128.jpg

Minat? Klik Gambarnya

 photo BP129.jpg

Klik Gambar

 photo BP127.jpg
 
Blogger Templates